WAKALAH



A.    WAKALAH
1.      Pengertian Wakalah
Secara etimologi, wakalah memiliki beberapa pengertian yang diantaranya adalah: (al-hifzh) yang berarti perlindungan, atau (al-kifayah) yang berarti  pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau (al-tafwidh) berarti  pendelegasian yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan
Sedangkan secara terminologi, wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu pekerjaan atau urusan kepada orang lain agar bertindak atas nama orang yang mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan.
2.      Pendapat Ulama Tentang Wakalah
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda menyangkut wakalah, berikut adalah pandangan dari para ulama:
a.       Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa wakalah adalah ungkapan yang mengandung arti pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada  orang lain agar orang lain tersebut melakukan kegiatan yang telah dikuasakan atas nama pemberi kuasa. 
b.      Menurut Ulama Malikiyah, wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan kegiatan yang merupakan haknya, yang mana kegiatan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah pemberi kuasa wafat, sebab jika kegiatan dikaitkan setelah pemberi kuasa wafat maka sudah berbentuk wasiat. 
c.       Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf). 
d.      Menurut Sayyid Sabiq, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
3.      Dasar Hukum Wakalah
Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah SWT berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi,
1)      Al- Qur’an
وَكَذٰ فَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لِكَ بَعَثَنٰهُمْ لِيَتَسآءَلُوْا بَيْنَهُمْ ۗ قاَلَ  لَبِِثْتُمْ ۗ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوْا هِ-رَبُّكُمْ أَعْلَمُْ بِمَا لَبِثْتُمْ ۗ فَابْعَثُوْﺁ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هٰذ إِلَى المَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ أَﻴُّﮭﺂ أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلاَ يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)’. mereka menjawab: ‘Kita berada (disini) sehari atau setengah hari’. Berkata (yang lain lagi): ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
Ayat lain yang menjadi rujukan wakalah adalah kisah tentang Nabi Yusuf as. saat ia berkata kepada raja,
قَالَ زَائِنِ الأَرْضِ ۚ إِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ اجْعَلْنِيْ عَلَٰى ﺧَ
Berkata Yusuf: “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)
Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga “Federal Reserve” negeri Mesir.
2)      Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah, di antaranya,
أَنَّ رَ سُو لَ اللهِ صَلَّ لله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعَثَ أَباَ رَ افِعٍ وَ رَ جُلا مِنَ الأَنْصَا رِ فَزَوَّجاَهُ مَيْمُو نَةَ بِنْتَ الْحَارِِ ثِ
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-Harits.” (Malik no. 678, kitab al-Muwaththa’, bab Haji)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dll.
3)      Ijma’
Para ulama bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah saw.. 
Allah berfirman,
...وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ  ۖ وَلاَ تَعَاوَنَوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْغعُدْوَٰنِ... “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran…” (QS. Al-Maidah: 2)
Rasulullah saw. bersabda,
وَ اللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.” (HR. Muslim no.4867, kitab az-Zikr)
4.      Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun Wakalah
a.       Muwakil (orang yang mewakilkan/pemberi kuasa).
b.      Wakil (yang mewakili/penerima kuasa).
c.       Muwakkal fih/taukil (obyek yang diwakilkan/dikuasakan).
d.      Shighat (ijab dan qabul).
Syarat-syarat Wakalah
1.      Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat.
2.      Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh dan berakal sehat. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah, anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk menjadi wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan  ibunya kepada Rasulullah saw., saat itu Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.
a)      Syarat-syarat obyek yang diwakilkan ialah:
Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan sholat, puasa, dan membaca ayat al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli.
Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata: “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
Shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhoannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
5.      Berakhirnya Wakalah
Akad wakalah berakhir jika terjadi salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
a.       Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat sah akad adalah orang yang berakad masih hidup.
b.      Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya orang yang berakad mempunyai akal.
c.       Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam keadaan seperti ini wakalah tidak berfungsi lagi.
d.      Pemutusan oleh yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil belum mengetahui (pendapat Syafi’i dan Hambali). Menurut Madzab Hanafi wakil wajib mengetahui putusan yang mewakilkan. Sebelum ia mengetahui hal itu, tindakannya itu tak ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala hukumnya.
e.       Wakil memutuskan sendiri, menurut Madzab Hanafi tidak perlu orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
f.       Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.

DAFTAR PUSTAKA
http://massukron.blogspot.co.id/2013/04/jasa-wakalah-kafalah-hawalah-rahn-qardh_5209.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenis-Jenis Mudharabah, Pembatalan Mudharabah, Manfaat mudharabah, Aplikasi dalam perbankan dan Aplikasi Dalam Perbankan Syariah

Pengertian Murabahah dan Landasan Hukum

SEWA GUNA USAHA (LEASING) DAN PEMBIAYAAN KONSUMEN (FINANCE)